Breaking News

Jumat, 09 Juni 2017

BERAPAKAH JUMLAH RAKAAT SHALAT TARAWIH?


Shalat tarawih merupakan ibadah sunah khusus yang hanya dijumpai di dalam bulan Ramadhan yang memiliki keutamaan yang luar biasa. Namun akhir-akhir ini umat Islam dibingungkan dengan Fatwa baru  menyatakan bahwa bilangan shalat tarawih yang sesuai dengan sunnah Nabi Muhamad SAW hanya 8 rakaat. Dan bahkan ada yang menyatakan bahwa "shalat tarawih 8 rakaat berarti mengikuti Rasulullah sedangkan shalat tarawih 20 rakaat mengikut Saidina Umar, pilih mana? Rasulullah atau Saidina Umar? Fatwa baru seperti ini tentunya akan sangat membingungkan umat terlebih lagi orang-orang yang awam tentang masalah agama. karena mengindikasikan bahwa pelaksanaan shalat tarawih sebanyak 20 rakaat adalah suatu amalan bid’ah yang menyesatkan. Pada akhirnya, fatwa baru ini hanya menimbulkan perpecahan dan merusak tatanan ukhuwah islamiah dalam kalangan umat Islam.

Oleh karena itu tidak ada salahnya bila kita mencoba untuk sedikit membahas secara bijaksana bagaimana sebenarnya kesimpulan para salafush-shalih tentang jumlah bilangan rakaat shalat tarawih ini. Ada dua riwayat hadist yang menjadi pokok permasalahan ini. Pertama, hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah :

عن جابر بن عبد الله رضي الله عنه قال : صلى بنا رسول الله صلى الله عليه و سلم في شهر رمضان ثمان ركعات وأوتر فلما كانت القابلة اجتمعنا في المسجد ورجونا أن يخرج فلم نزل فيه حتى أصبحنا ثم دخلنا فقلنا يا رسول الله اجتمعنا البارحة في المسجد ورجونا أن تصلي بنا فقال إني خشيت أن يكتب عليكم

Dari Jabir bin Abdullah berkata: ”Kami melakukan shalat bersama Nabi SAW di bulan Ramadhan sebanyak 8 rakaat dan melakukan witir. Pada malam berikutnya kami berkumpul di mesjid dan mengharapkan Nabi SAW keluar bersama kami. Namun Nabi SAW tidak kunjung keluar hingga tiba waktu Shubuh. Ketika Rasulullah SAW tiba kami berkata : Wahai Rasulullah, kami semalam berkumpul di mesjid dan berharap Engkau keluar melakukan shalat bersama kami. Nabi SAW menjawab: “Sesungguhnya saya khawatir shalat ini akan diwajibkan atas kalian”. (HR. Imam al-Thabrani)

hadits yyang diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Abdullah tersebut tidak bisa dijadikan sebagai dalil dalam penetapan jumlah rakaat tarawih karena hadits ini terdapat beberapa kemungkinan. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh al-Sinuri dalam kitab Kasyf al-Tabarih fi Bayani Shalat al-Tarawih :
"Adapun mengenai hadits Jabir, bila memang kisah itu satu, maka kemungkinan Jabir termasuk orang-orang yang hanya datang pada malam kedua. Oleh karena itu pada hadits tersebut Jabir hanya mengisahkan kisah dua malam. Hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Imam al-Zarqani dalam kitab Syarh al-Muwatha’. Kemungkinan juga Jabir datang terlambat ke mesjid dan ia hanya mendapati shalat sebanyak delapan rakaat, maka ia hanya memberitakan apa yang ia lihat. Meski demikian, bukan berarti Jabir menafikan rakaat tambahan yang lebih dari delapan rakaat. Bahkan seandainya Jabir menafikan pun tidak berpengaruh apa-apa dalam hal istidlal (pengambilan dalil) karena terdapat beberapa kemungkinan tadi sebagaimana Anas menafikan Nabi SAW mengangkat tangan pada selain shalat istisqa’, sementara sahabat yang lain meriwayatkan bahwa Nabi SAW mengangkat tangan dalam berdoa pada selain shalat istisqa’".

Setelah melihat beberapa kemungkinan tersebut, maka hadits riwayat Jabir bin ‘Abdullah ini tidak bisa  dijadikan pedoman dalam hal istidlal (pengambilan dalil) jumlah bilangan shalat tarawih. Hal ini sesuai dengan sebuah qaedah Imam Syafii yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari dalam kitab Ghayatul Wushul:

وقائع الأحوال إذا تطرق إليها الاحتمال كساها ثوب الإجمال وأسقط بها الاستدلال
           
"Ketentuan (nash) tentang suatu peristiwa apabila mengandung beberapa kemungkinan akan termasuk kategori mujmal (global) dan tidak dapat digunakan sebagai dalil".

Berdasarkan kaidah tersebut, hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Abdullah ini dapat dipastikan gugur dari segi pengambilan dalil untuk menetapkan jumlah rakaat shalat tarawih. Kalaupun hadis ini sahih, maka hadits ini hanya dapat dijadikan sebagai dalil tentang disunatkannya berjamaah pada shalat tarawih.

Kedua, hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah :
عن أبي سلمة بن عبد الرحمن أنه سأل عائشة كيف كانت صلاة رسول الله صلى الله عليه وسلم في رمضان قالت ما كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يزيد في رمضان ولا في غيره على إحدى عشرة ركعة يصلي أربعا فلا تسأل عن حسنهن وطولهن ثم يصلي أربعا فلا تسأل عن حسنهن وطولهن ثم يصلي ثلاثا فقالت عائشة فقلت يا رسول الله أتنام قبل أن توتر فقال يا عائشة إن عيني تنامان ولا ينام قلبي

"Dari Abi Salamah bin Abd al-Rahman, beliau bertanya kepada ‘Aisyah tentang bagaimana tata cara shalat Rasulullah SAW di bulan Ramadhan. ‘Aisyah berkata : “Rasulullah SAW tidak pernah menambahi, baik pada bulan Ramadhan maupun selain bulan Ramadhan dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian Beliau shalat empat rakaat dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian Beliau shalat tiga rakaat.” ‘Aisyah kemudian berkata : “Saya bertanya kepada Rasulullah :”Apakah engkau tidur sebelum melakukan shalat witir?” Beliau menjawab : “Wahai ‘Aisyah, sesungguhnya kedua mataku tidur tapi hatiku tidak tidur". (HR. Imam al-Bukhari dan Imam Muslim)

hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah tersebut, pada akhir haditsnya beliau menanyakan tentang shalat witir kepada Nabi SAW. Begitu juga dalam riwayat Jabir bin Abdullah yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dan Imam Ibnu Khuzaimah, pada akhir haditsnya, Nabi SAW menyatakan “...Sesungguhnya saya khawatir Allah akan mewajibkan shalat witir”. Hal ini mengindikasikan bahwa hadits-hadits ini berada dalam konteks pembicaraan shalat witir. Selanjutnya, dalam hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah tersebut juga terdapat pernyataan “tidak juga pada selain Ramadhan”. Dari pernyataan ini juga dapat dipahami bahwa Nabi SAW melaksanakan shalat yang jumlah bilangan rakaatnya sebelas tersebut sepanjang tahun, bukan hanya terkhusus pada bulan Ramadhan saja yang tentunya memperjelas bahwa yang dimaksud dalam riwayat tersebut bukanlah shalat tarawih karena shalat tarawih hanya ada pada bulan Ramadhan. Akhirnya, kita dapat meyakini bahwa hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah meskipun dipastikan kesahihannya, namun hadits ini bukanlah dalil shalat tarawih dan tidak dapat dijadikan sebagai pendukung bagi hadis riwayat Jabir bin ‘Abdullah tentang shalat tarawih. 


Kedua riwayat inilah yang menjadi landasan utama “fatwa” baru yang menyebutkan bahwa jumlah bilangan shalat tarawih adalah 8 rakaat. Akan tetapi, kesimpulan ini jelas sangat tergesa-gesa dan sama sekali tidak memperhatikan perilaku para sahabat Nabi saw sendiri dan pandangan para ulama besar Islam.

Ibnu Manzhur dalam Lisanul-Arab mengutarakan bahwa kata "at-tarawih" merupakan bentuk jamak dari kata "at-tarwihah", yang berarti satu kali istirahat. Penamaan shalat tersebut dengan tarawih dikarenakan para jamaahnya beristirahat sesudah tiap-tiap empat rakaat. Dalam suatu hadits disebutkan shalat tarawih karena mereka beristirahat di antara dua kali salam. Berpijak dari dasar penamaan tersebut, jelaslah bahwa sesungguhnya bilangan shalat tarawih terlebih banyak dari delapan rakaat. Hal ini disebabkan istirahat dilakukan sesudah tiap-tiap empat rakaat. Karena kata “al-tarawih” berbentuk jamak, maka minimal istirahatnya dilakukan tiga kali sehingga paling sedikit jumlah bilangan rakaatnya adalah 12 rakaat, bukan 8 rakaat

Imam al-Baihaqi dalam kitabnya Sunan al-Kubra meriwayatkan :
عن السائب بن يزيد قال : كانوا يقومون على عهد عمر بن الخطاب رضى الله عنه فى شهر رمضان بعشرين ركعة

Dari al-Saib ibn Yazid al-Shahabi, ia berkata : Para sahabat mendirikan shalat tarawih pada bulan Ramadhan sebanyak 20 rakaat.


Imam Malik dalam kitab al-Muwatha’ meriwayatkan :
عن يزيد بن رومان أنه قال كان الناس يقومون في زمان عمر بن الخطاب في رمضان بثلاث وعشرين ركعة

"Dari Yazīd ibn Rauman, ia berkata :”Sesungguhnya orang-orang pada masa ‘Umar bin al-Khathab mendirikan Ramadhan dengan 23 rakaat".

Secara tekstual, riwayat-riwayat tersebut meriwayatkan pelaksanaan shalat tarawih yang terjadi pada masa sahabat Nabi SAW, yaitu pada masa ‘Umar bin Khathab dan ‘Ali bin Abi Thalib. Segala sesuatu baik berbentuk perkataan, perbuatan dan seumpamanya yang disandarkan kepada sahabat dinamakan dengan hadits mauquf. Sebagian ulama fikih menamakan hadis mauquf dengan atsar, sedangkan hadis marfu’ (yang disandarkan kepada Nabi SAW) dinamakan khabar. Adapun para Muhaditsin sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Imam al-Nawawī menggunakan istilah khabar kepada hadis mauquf dan hadis marfu’. Perlu diketahui bahwa sesuatu yang disandarkan kepada para sahabat tidak selamanya dianggap hadits mauquf. Apa yang disandarkan kepada para sahabat tersebut baru dikatakan hadis mauquf bila berhubungan dengan perkara yang bersumber dari pendapat seseorang dan berkemungkinan untuk dilakukan ijtihad. Namun bila perkara tersebut tidak termasuk masalah-masalah yang dihasilkan dari ijtihad maka hadits tersebut digolongkan sebagai hadis marfu’.

Masalah shalat tarawih termasuk jumlah rakaatnya tidak termasuk perkara ijtihadiyyah dan bukan juga masalah yang bersumber dari perkataan dan pendapat pribadi seseorang. Akan tetapi, para sahabat mengetahui hal itu hanya dari Nabi SAW. Sekiranya hal ini merupakan masalah ijtihadiyyah atau pun masalah yang bersumber dari pendapat seseorang, tentulah para sahabat akan berbeda-beda pengamalannya dalam melakukan shalat tarawih sebagaimana lazimnya terdapat perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam masalah-masalah ijtihadiyyah.

Oleh karena itu, riwayat tentang jumlah bilangan rakaat shalat tarawih yang dilakukan oleh sahabat sebanyak 20 rakaat tersebut, kendati hal itu mauquf kepada para sahabat, namun statusnya sama dengan hadis marfu’, yaitu hadis yang bersumber dari Nabi SAW. Apabila berstatus sebagai hadis marfu’, maka ia memiliki kekuatan sebagai sumber hukum sebagaimana halnya hadis-hadis marfu’ yang lain.
Dalil selanjutnya adalah ijma’ (konsensus) para sahabat Nabi SAW. Ijma’ mengenai jumlah rakaat shalat tarawih ini dapat dipahami dari tidak ada satu orang pun di antara para sahabat yang memprotes, menyalahkan, dan menganggap pelaksanaan shalat tarawih sebanyak 20 rakaat pada masa ‘Umar bin Khathab dan ‘Ali bin Abi Thalib bertentangan dengan yang dikerjakan oleh Nabi SAW. Padahal pada saat itu ‘Aisyah, Abu Hurairah, ‘Utsman ibn ‘Affan, Sa’ad bin Abi Waqqash dan para sahabat senior lainnya masih hidup. Sekiranya jumlah bilangan shalat tarawih dua puluh rakaat ini bertentangan dengan sunnah Nabi SAW, tentunya para sahabat sudah melakukan protes besar-besaran terhadap Umar bin Khathab.

Imam al-Syafi’i dalam kitab al-Umm mengungkapkan
:
ورأيتهم بالمدينة يقومون بتسع وثلاثين وأحب إلى عشرون لانه روى عن عمر وكذلك يقومون بمكة ويوترون بثلاث

"Saya melihat orang-orang Madinah melaksanakan shalat tarawih sebanyak 36 rakaat. Namun yang lebih saya sukai adalah sejumlah 20 rakaat karena hal itu diriwayatkan dari Umar. Demikianlah pelaksanaan tarawih dilakukan oleh orang-orang di Mekah dan mereka melakukan witir sebanyak 3 rakaat".


Imam Sarkhasy dari kalangan fuqaha` Hanafiyah mengatakan dalam kitab al-mabsuth:
انها عشرون ركعة سوى الوتر عندنا


Shalat tarawih adalah 20 rakaat selain witir menurut mazhab kita (mazhab hanafi)

Fuqaha` Mazhab Hanbali juga menyebutkan bahwa pendapat yang di pilih menurut Imam Ahmad adalah dua puluh rakaat sebagaimana di jelaskan oleh Ibnu Qudamah dalam kitab Mughni Ibnu Qudamah. 


Dari uraian diatas jelas dapat dipahami bahwa sebenarnya permasalahan jumlah bilangan rakaat shalat tarawih sebenarnya sudah jelas, barangkali hanya ulah sebagian kalangan saja yang semakin sibuk mengurusi masalah furu’iyyah, meninggalkan masalah pokok yang seharusnya diberi perhatian yang lebih besar dan terkesan mencari sensasi dengan pelaksanaan yang berbeda dari mayoritas umat Islam lainnya serta menyalahi dengan apa yang telah disepakati oleh sahabat dan para ulama sehingga membuat hal ini semakin mengemuka. Wallahua’lam Bish-Shawab! 
comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar