
Shalat tarawih merupakan ibadah
sunah khusus yang hanya dijumpai di dalam bulan Ramadhan yang memiliki
keutamaan yang luar biasa. Namun akhir-akhir ini umat Islam dibingungkan dengan
Fatwa baru menyatakan bahwa bilangan
shalat tarawih yang sesuai dengan sunnah Nabi Muhamad SAW hanya 8 rakaat. Dan
bahkan ada yang menyatakan bahwa "shalat tarawih 8 rakaat berarti
mengikuti Rasulullah sedangkan shalat tarawih 20 rakaat mengikut Saidina Umar,
pilih mana? Rasulullah atau Saidina Umar? Fatwa
baru seperti ini tentunya akan sangat membingungkan umat terlebih lagi
orang-orang yang awam tentang masalah agama. karena mengindikasikan bahwa
pelaksanaan shalat tarawih sebanyak 20 rakaat adalah suatu amalan bid’ah yang
menyesatkan. Pada akhirnya, fatwa baru
ini hanya menimbulkan perpecahan dan merusak tatanan ukhuwah islamiah dalam
kalangan umat Islam.
Oleh karena itu tidak ada salahnya bila kita
mencoba untuk sedikit membahas secara bijaksana bagaimana sebenarnya kesimpulan
para salafush-shalih tentang jumlah bilangan rakaat shalat tarawih ini. Ada dua riwayat hadist yang menjadi pokok permasalahan
ini. Pertama, hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah :
عن جابر بن عبد الله رضي الله
عنه قال : صلى بنا رسول الله صلى الله عليه و سلم في شهر رمضان ثمان ركعات وأوتر
فلما كانت القابلة اجتمعنا في المسجد ورجونا أن يخرج فلم نزل فيه حتى أصبحنا ثم
دخلنا فقلنا يا رسول الله اجتمعنا البارحة في المسجد ورجونا أن تصلي بنا فقال إني
خشيت أن يكتب عليكم
“Dari
Jabir bin Abdullah berkata: ”Kami melakukan shalat bersama Nabi SAW di bulan
Ramadhan sebanyak 8 rakaat dan melakukan witir. Pada malam berikutnya kami
berkumpul di mesjid dan mengharapkan Nabi SAW keluar bersama kami. Namun Nabi
SAW tidak kunjung keluar hingga tiba waktu Shubuh. Ketika Rasulullah SAW tiba
kami berkata : Wahai Rasulullah, kami semalam berkumpul di mesjid dan berharap
Engkau keluar melakukan shalat bersama kami. Nabi SAW menjawab: “Sesungguhnya
saya khawatir shalat ini akan diwajibkan atas kalian”. (HR. Imam
al-Thabrani)
hadits
yyang diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Abdullah tersebut tidak bisa dijadikan
sebagai dalil dalam penetapan jumlah rakaat tarawih karena hadits ini terdapat
beberapa kemungkinan. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh al-Sinuri dalam
kitab Kasyf al-Tabarih fi Bayani Shalat al-Tarawih :
"Adapun mengenai hadits Jabir, bila memang
kisah itu satu, maka kemungkinan Jabir termasuk orang-orang yang hanya datang
pada malam kedua. Oleh karena itu pada hadits tersebut Jabir hanya mengisahkan
kisah dua malam. Hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Imam al-Zarqani
dalam kitab Syarh al-Muwatha’. Kemungkinan juga Jabir datang terlambat ke
mesjid dan ia hanya mendapati shalat sebanyak delapan rakaat, maka ia hanya
memberitakan apa yang ia lihat. Meski demikian, bukan berarti Jabir menafikan
rakaat tambahan yang lebih dari delapan rakaat. Bahkan seandainya Jabir
menafikan pun tidak berpengaruh apa-apa dalam hal istidlal (pengambilan dalil)
karena terdapat beberapa kemungkinan tadi sebagaimana Anas menafikan Nabi SAW
mengangkat tangan pada selain shalat istisqa’, sementara sahabat yang lain
meriwayatkan bahwa Nabi SAW mengangkat tangan dalam berdoa pada selain shalat
istisqa’".
Setelah melihat beberapa kemungkinan tersebut,
maka hadits riwayat Jabir bin ‘Abdullah ini tidak bisa dijadikan pedoman dalam hal istidlal
(pengambilan dalil) jumlah bilangan shalat tarawih. Hal ini sesuai dengan
sebuah qaedah Imam Syafii yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari
dalam kitab Ghayatul Wushul:
وقائع الأحوال إذا تطرق إليها
الاحتمال كساها ثوب الإجمال وأسقط بها الاستدلال
"Ketentuan
(nash) tentang suatu peristiwa apabila mengandung beberapa kemungkinan akan
termasuk kategori mujmal (global) dan tidak dapat digunakan sebagai
dalil".
Berdasarkan kaidah tersebut, hadits yang
diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Abdullah ini dapat dipastikan gugur dari segi
pengambilan dalil untuk menetapkan jumlah rakaat shalat tarawih. Kalaupun hadis
ini sahih, maka hadits ini hanya dapat dijadikan sebagai dalil tentang
disunatkannya berjamaah pada shalat tarawih.
Kedua, hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah :
عن أبي سلمة بن عبد الرحمن أنه
سأل عائشة كيف كانت صلاة رسول الله صلى الله عليه وسلم في رمضان قالت ما كان رسول
الله صلى الله عليه وسلم يزيد في رمضان ولا في غيره على إحدى عشرة ركعة يصلي أربعا
فلا تسأل عن حسنهن وطولهن ثم يصلي أربعا فلا تسأل عن حسنهن وطولهن ثم يصلي ثلاثا
فقالت عائشة فقلت يا رسول الله أتنام قبل أن توتر فقال يا عائشة إن عيني تنامان
ولا ينام قلبي
"Dari
Abi Salamah bin Abd al-Rahman, beliau bertanya kepada ‘Aisyah tentang bagaimana
tata cara shalat Rasulullah SAW di bulan Ramadhan. ‘Aisyah berkata :
“Rasulullah SAW tidak pernah menambahi, baik pada bulan Ramadhan maupun selain
bulan Ramadhan dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat dan jangan kamu
tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian Beliau shalat empat rakaat dan jangan
kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian Beliau shalat tiga rakaat.” ‘Aisyah
kemudian berkata : “Saya bertanya kepada Rasulullah :”Apakah engkau tidur
sebelum melakukan shalat witir?” Beliau menjawab : “Wahai ‘Aisyah, sesungguhnya
kedua mataku tidur tapi hatiku tidak tidur". (HR. Imam al-Bukhari dan Imam
Muslim)
hadits
yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah tersebut, pada akhir haditsnya beliau menanyakan
tentang shalat witir kepada Nabi SAW. Begitu juga dalam riwayat Jabir bin
Abdullah yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dan Imam Ibnu Khuzaimah, pada
akhir haditsnya, Nabi SAW menyatakan “...Sesungguhnya saya khawatir Allah akan
mewajibkan shalat witir”. Hal ini mengindikasikan bahwa hadits-hadits ini
berada dalam konteks pembicaraan shalat witir. Selanjutnya,
dalam hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah tersebut juga terdapat pernyataan “tidak
juga pada selain Ramadhan”. Dari pernyataan ini juga dapat dipahami
bahwa Nabi SAW melaksanakan shalat yang jumlah bilangan rakaatnya sebelas
tersebut sepanjang tahun, bukan hanya terkhusus pada bulan Ramadhan saja yang
tentunya memperjelas bahwa yang dimaksud dalam riwayat tersebut bukanlah shalat
tarawih karena shalat tarawih hanya ada pada bulan Ramadhan. Akhirnya, kita dapat meyakini bahwa hadits yang
diriwayatkan oleh ‘Aisyah meskipun dipastikan kesahihannya, namun hadits ini
bukanlah dalil shalat tarawih dan tidak dapat dijadikan sebagai pendukung bagi
hadis riwayat Jabir bin ‘Abdullah tentang shalat tarawih.
Kedua riwayat inilah yang menjadi landasan utama
“fatwa” baru yang menyebutkan bahwa jumlah bilangan shalat tarawih adalah 8
rakaat. Akan tetapi, kesimpulan ini jelas sangat tergesa-gesa dan sama sekali
tidak memperhatikan perilaku para sahabat Nabi saw sendiri dan pandangan para
ulama besar Islam.
Ibnu Manzhur dalam Lisanul-Arab mengutarakan bahwa kata "at-tarawih" merupakan bentuk jamak dari kata
"at-tarwihah", yang berarti satu kali istirahat.
Penamaan shalat tersebut dengan tarawih dikarenakan para jamaahnya beristirahat
sesudah tiap-tiap empat rakaat. Dalam suatu hadits disebutkan shalat tarawih
karena mereka beristirahat di antara dua kali salam. Berpijak dari dasar penamaan tersebut, jelaslah bahwa
sesungguhnya bilangan shalat tarawih terlebih banyak dari delapan rakaat. Hal
ini disebabkan istirahat dilakukan sesudah tiap-tiap empat rakaat. Karena kata
“al-tarawih” berbentuk jamak, maka minimal istirahatnya dilakukan tiga kali
sehingga paling sedikit jumlah bilangan rakaatnya adalah 12 rakaat, bukan 8
rakaat
Imam al-Baihaqi dalam kitabnya Sunan al-Kubra
meriwayatkan :
عن السائب بن يزيد قال : كانوا
يقومون على عهد عمر بن الخطاب رضى الله عنه فى شهر رمضان بعشرين ركعة
Dari
al-Saib ibn Yazid al-Shahabi, ia berkata : Para sahabat mendirikan shalat
tarawih pada bulan Ramadhan sebanyak 20 rakaat.
Imam
Malik dalam kitab al-Muwatha’ meriwayatkan :
عن يزيد بن رومان أنه قال كان
الناس يقومون في زمان عمر بن الخطاب في رمضان بثلاث وعشرين ركعة
"Dari
Yazīd ibn Rauman, ia berkata :”Sesungguhnya orang-orang pada masa ‘Umar bin
al-Khathab mendirikan Ramadhan dengan 23 rakaat".
Secara tekstual, riwayat-riwayat tersebut
meriwayatkan pelaksanaan shalat tarawih yang terjadi pada masa sahabat Nabi
SAW, yaitu pada masa ‘Umar bin Khathab dan ‘Ali bin Abi Thalib. Segala sesuatu
baik berbentuk perkataan, perbuatan dan seumpamanya yang disandarkan kepada
sahabat dinamakan dengan hadits mauquf. Sebagian ulama fikih menamakan hadis
mauquf dengan atsar, sedangkan hadis marfu’ (yang disandarkan kepada Nabi SAW)
dinamakan khabar. Adapun para Muhaditsin sebagaimana yang telah dijelaskan oleh
Imam al-Nawawī menggunakan istilah khabar kepada hadis mauquf dan hadis marfu’. Perlu diketahui bahwa sesuatu yang disandarkan kepada
para sahabat tidak selamanya dianggap hadits mauquf. Apa yang disandarkan
kepada para sahabat tersebut baru dikatakan hadis mauquf bila berhubungan
dengan perkara yang bersumber dari pendapat seseorang dan berkemungkinan untuk
dilakukan ijtihad. Namun bila perkara tersebut tidak termasuk masalah-masalah
yang dihasilkan dari ijtihad maka hadits tersebut digolongkan sebagai hadis marfu’.
Masalah shalat tarawih termasuk jumlah rakaatnya
tidak termasuk perkara ijtihadiyyah dan bukan juga masalah yang bersumber dari
perkataan dan pendapat pribadi seseorang. Akan tetapi, para sahabat mengetahui
hal itu hanya dari Nabi SAW. Sekiranya hal ini merupakan masalah ijtihadiyyah
atau pun masalah yang bersumber dari pendapat seseorang, tentulah para sahabat
akan berbeda-beda pengamalannya dalam melakukan shalat tarawih sebagaimana
lazimnya terdapat perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam masalah-masalah
ijtihadiyyah.
Oleh karena itu, riwayat tentang jumlah bilangan
rakaat shalat tarawih yang dilakukan oleh sahabat sebanyak 20 rakaat tersebut,
kendati hal itu mauquf kepada para sahabat, namun statusnya sama dengan hadis
marfu’, yaitu hadis yang bersumber dari Nabi SAW. Apabila berstatus sebagai
hadis marfu’, maka ia memiliki kekuatan sebagai sumber hukum sebagaimana halnya
hadis-hadis marfu’ yang lain.
Dalil selanjutnya adalah ijma’ (konsensus) para
sahabat Nabi SAW. Ijma’ mengenai jumlah rakaat shalat tarawih ini dapat
dipahami dari tidak ada satu orang pun di antara para sahabat yang memprotes,
menyalahkan, dan menganggap pelaksanaan shalat tarawih sebanyak 20 rakaat pada
masa ‘Umar bin Khathab dan ‘Ali bin Abi Thalib bertentangan dengan yang dikerjakan
oleh Nabi SAW. Padahal pada saat itu ‘Aisyah, Abu Hurairah, ‘Utsman ibn ‘Affan,
Sa’ad bin Abi Waqqash dan para sahabat senior lainnya masih hidup. Sekiranya
jumlah bilangan shalat tarawih dua puluh rakaat ini bertentangan dengan sunnah
Nabi SAW, tentunya para sahabat sudah melakukan protes besar-besaran terhadap
Umar bin Khathab.
Imam al-Syafi’i dalam kitab al-Umm mengungkapkan :
ورأيتهم بالمدينة يقومون بتسع
وثلاثين وأحب إلى عشرون لانه روى عن عمر وكذلك يقومون بمكة ويوترون بثلاث
"Saya
melihat orang-orang Madinah melaksanakan shalat tarawih sebanyak 36 rakaat.
Namun yang lebih saya sukai adalah sejumlah 20 rakaat karena hal itu
diriwayatkan dari Umar. Demikianlah pelaksanaan tarawih dilakukan oleh
orang-orang di Mekah dan mereka melakukan witir sebanyak 3 rakaat".
Imam
Sarkhasy dari kalangan fuqaha` Hanafiyah mengatakan dalam kitab al-mabsuth:
انها عشرون ركعة سوى الوتر عندنا
Shalat
tarawih adalah 20 rakaat selain witir menurut mazhab kita (mazhab hanafi)
Fuqaha` Mazhab Hanbali juga menyebutkan bahwa
pendapat yang di pilih menurut Imam Ahmad adalah dua puluh rakaat sebagaimana
di jelaskan oleh Ibnu Qudamah dalam kitab Mughni Ibnu Qudamah.
Dari
uraian diatas jelas dapat dipahami bahwa sebenarnya permasalahan jumlah
bilangan rakaat shalat tarawih sebenarnya sudah jelas, barangkali hanya ulah
sebagian kalangan saja yang semakin sibuk mengurusi masalah furu’iyyah,
meninggalkan masalah pokok yang seharusnya diberi perhatian yang lebih besar
dan terkesan mencari sensasi dengan pelaksanaan yang berbeda dari mayoritas
umat Islam lainnya serta menyalahi dengan apa yang telah disepakati oleh
sahabat dan para ulama sehingga membuat hal ini semakin mengemuka. Wallahua’lam
Bish-Shawab!